November 19, 2024

Indonesia Hadapi Kesenjangan dalam Program Antibiotik RS, Temuan Studi Universitas Indonesia dan OUCRU Indonesia

19 November 2024 – Studi nasional yang dipimpin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dan OUCRU Indonesia menemukan bahwa 9 dari 10 rumah sakit dari 575 sampel yang tersebar di 34 provinsi sudah memiliki Program Pengelolaan Antimikroba (ASP). Namun, hanya sekitar setengahnya yang memiliki program ASP yang kuat dan fungsional.

Program Pengelolaan Antimikroba (Antimicrobial Stewardship Programme–ASP) adalah inisiatif rumah sakit yang berguna memastikan antibiotik dipakai secara tepat, saat benar-benar diperlukan, untuk mencegah infeksi yang resisten obat dan menjaga keefektifan antibiotik untuk pasien di masa mendatang.

Studi ini menemukan berbagai hambatan signifikan dalam program ASP, termasuk keterbatasan akses ke layanan laboratorium mikrobiologi, keterbatasan anggaran serta staf untuk mengadakan kegiatan ASP, struktur rumah sakit yang hierarkis, dan kurangnya kolaborasi antardepartemen di rumah sakit. Studi ini menemukan bahwa hambatan-hambatan tersebut paling dirasakan oleh rumah sakit-rumah sakit di daerah dengan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat dan pengeluaran rumah tangga per kapita yang rendah.

Studi yang disebut NASPA ini bertujuan untuk menilai bagaimana ASP dijalankan di Indonesia, mengidentifikasi tantangan yang dihadapi nakes, dan memberikan rekomendasi untuk memperkuat program-program ASP, baik di rumah sakit pemerintah maupun swasta. Studi ini mengadakan survei di 34 provinsi di Indonesia dan diskusi kelompok terarah dengan berbagai jenis RS, yaitu tipe pemerintah serta swasta, tingkat tinggi hingga rendah (A-D), dan RS di lokasi yang berbeda-beda.

Foto kamar pasien di rumah sakit sebagai ilustrasi. Kredit: Pixabay dari Pexels.

Kesenjangan dan Hambatan Teridentifikasi

Robert Sinto, dr., peneliti pertama studi ini, menjelaskan, “Banyak rumah sakit kecil dan terpencil mengalami kekurangan sumber daya penting seperti anggaran, staf, laboratorium mikrobiologi, dan dukungan IT untuk mendukung pengumpulan data yang berkualitas tinggi.” Dia menambahkan bahwa beban kerja tinggi dan pergantian staf yang sering terjadi semakin membatasi waktu dan energi yang bisa dicurahkan nakes untuk kegiatan ASP sehingga programnya sulit dijalankan secara konsisten. Struktur yang hierarkis juga menghambat kolaborasi karena “staf junior mungkin ragu-ragu untuk mempertanyakan praktik peresepan obat dokter senior.” Dia juga mencatat, “Beberapa penyedia layanan kesehatan enggan untuk mengubah kebiasaan peresepan obat mereka. Banyak spesialis swasta sangat resisten terhadap pedoman ASP.”

Riset ini juga mencatat bahwa pedoman ASP nasional sudah ada dan kemajuan sudah mulai tercapai, “tetapi peraturan yang lebih kuat masih diperlukan untuk menjadikan ASP sebagai prioritas, menetapkan standar minimum, dan memberikan metode evaluasi yang jelas,” tegas Assoc. Prof. Raph L. Hamers, peneliti senior dalam studi ini dan Kepala Program Riset Klinis Penyakit Menular OUCRU Indonesia.

Jalan Menuju Program Antibiotik RS yang Lebih Kuat

Meskipun dihadang banyak rintangan, penelitian ini juga mengidentifikasi berbagai faktor pendukung yang dapat membantu memperkuat program ASP di Indonesia. Salah satu faktor yang paling penting adalah dukungan kepemimpinan yang kuat. “Rumah sakit yang memiliki dukungan pendanaan dan manajemen yang memiliki dedikasi jauh lebih berhasil dalam mempertahankan ASP,” kata dr. Sinto.

Faktor pendukung penting lainnya adalah kolaborasi antarnakes dan pelatihan ASP bagi mereka. “Kerja sama lintasdisiplin antara apoteker, dokter, dan staf pengendalian infeksi terbukti dapat meningkatkan kepatuhan terhadap protokol ASP dan penggunaan antibiotik,” jelas Prof. Anis Karuniawati, salah satu peneliti dalam studi ini dan ahli mikrobiologi klinis di FK UI.

Riset ini juga memberikan panduan berharga bagi para pembuat kebijakan. Pelajaran yang ditemukan studi ini termasuk pentingnya standar nasional yang jelas, dukungan pendanaan yang lebih baik, dan pelatihan untuk membantu rumah sakit mengatasi hambatan yang ada.

Studi NASPA merupakan kolaborasi antara Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Monash University Indonesia, Direktorat Bina Mutu Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, Mahidol Oxford Tropical Medicine Research Unit, dan Mahidol University. Pendanaan disediakan oleh Wellcome [106680/Z/14/Z].

Skip to content